Tong

Dia bisa menampung banyak hal, tapi tidak dengan umpatan. Sedangkan, hanya itu yang paling sering dialaminya. Dihajar oleh luapan kekesalan pelintas jalan yang mengutuk kesemrawutan. Terasa mual menerimanya tiap waktu. Andai berbentuk, rentetan caci maki itu pasti sudah membuatnya remuk bentuk dalam sekejap.

“Tapi aku tidak bisa berharap banyak. Bukankah ini sudah jadi tugasku? Mewadahi setiap sampah yang dilontarkan manusia? Sangat berlebihan jika menginginkan tubuhku mulus-mulus saja!” ujarnya pada tetua Semut yang asyik mengais tilas gula di kaleng bekas minuman bersoda. “Setidaknya kau tak perlu susah-susah merambat untuk mengenyangkan perut. Kau tak punya lapar. Beda denganku, juga dengan manusia-manusia itu,” timpal si tetua.

Di jalanan kota ini, hanya harapan yang tak dibuang. Lagipula, sungguh konyol apabila orang-orang melakukannya. Harapan adalah bahan bakar yang membuat mereka tetap tangguh berkelahi dengan kesulitan. “Mewah bukan?” lanjutnya. “Manusia memilikinya, sehingga tetap punya alasan untuk meneruskan hidup. Sedang aku?”.

Tetua Semut mendongak. Berkacak pinggang, “Kau terlalu banyak mengeluh! Cengeng!,” hardiknya beruntun. “Kuberi tahu sesuatu. Jika sampah-sampah itu tak kau tadahi, lantas bagaimana rupa dunia ini? Tak semua benda mau berlaku sepertimu. Juga hewan-hewan. Juga manusia. Mereka ingin serba bersih. Mau selalu suci. Kotoran adalah musuh terlaknat. Meski semua keluar dari tubuh mereka sendiri. Bukankah pada dasarnya, merekalah sumber kotoran itu? Tapi Mereka angkuh menyangkal. Dan kamu? Ya kamu! Hanya kamu yang sanggup menerimanya. Itu kemuliaanmu! Kemewahanmu!”

Leave a comment