Nongkrong

Bersantai adalah sesuatu yang mewah di Jakarta. Itu kenapa, bisnis “nongkrong” menjamur seiring waktu. Toko-toko swalayan, menyediakan meja serta kursi di terasnya. Hanya untuk duduk-duduk pelanggannya, sembari menikmati minuman bersoda, kopi hangat dari mesin-mesin canggih disanding kudapan renyah berbungkus plastik apik.

Ini resiko kota besar. Saat pekerjaan memburu, kemacetan kian brengsek dan membuat kesal, menjadikan bersantai adalah kebutuhan. Pengusaha menangkap peluang. Menyediakan tempat singgah sebagai dagangan primer, lalu makanan dan minuman hanya sebagai penyertanya. Logika jualan telah berubah. Yang tadinya, sediakan makanan, lalu orang akan mencari tempat makan, kini dibalik. Sediakan saja tempat yang nyaman. Maka pelanggan yang datang dan duduk sekian jenak di sana, akan merasa ndak enak hati, hingga segera membeli makanan atau minuman.

Itulah hebatnya Jakarta. Bahkan, tempat duduk saja, bisa mendatangkan laba. Pernah ada lelucon dari seorang teman, “Kamu tahu, kenapa Jakarta menjadi tujuan ladang penghasilan bagi sebagian besar orang Indonesia?” Saya menggeleng. “Sebab disana, hanya kentut saja yang tidak bisa dijadikan uang!” Apalagi sekadar menyediakan kursi dan ruangan yang adem? Di tambah, fasilitas internet nirkabel yang disajikan tanpa bayar. Itu menggiurkan. Hanya membeli segelas kopi dan makanan ringan, menghabiskan waktu disana selama berjam-jam.

Terkesan tak imbang, memang. Namun begitulah gaya hidup yang tengah berkembang. Termasuk saya, yang tak punya kantor serta pekerjaan yang jelas. Anggaplah tempat itu, kafe atau toko itu, sebagai ruang kerja dengan waktu tugas yang lentur. Siasat bertahan hidup pada sebuah kota yang di jalanannya, memiliki kecepatan waktu tak terduga.

Leave a comment